Filsafat dan Usul Fiqh: Adakah titik temu?

| |

Apakah Filsafat mungkin bagi nalar pesantren? atau sebaliknya, apakah nalar pesantren mungkin bagi penahanan filsafat? Bagi kalangan pesantren,Filsafat dipandang sebagai pengetahuan yang bisa mempengaruhi prinsip pengetahuan mereka yang selalu di dasarkan pada keyakinan absolut. Sementara penahanan filsafat yang di bangun berdasarkan proses dialektika pemikiran di Eropa belum menyentuh tradisi keilmuan pesantren. Perlu ada orang dalam pesantren yang memasuki ramai perdebatan mereka minimal untuk menjernihkan permasalahan bahwa kita adalah bagian dari permainan yang 'maha absolut' dan yang relatif spekulatif.
Di satu sisi,pengetahuan filsafat yang sangat spekulatif ternyata mempunyai kemiripan metodologis dengan 'nalar pesantren' yang juga spekulatif dalam bentuk usul fiqh misalnya. Sementara nalar absolut dalam bentuk pemahaman keimaman-tauhid pesantren ternyata mempunyai kemiripan dengan nalar absolut filsafat yang abadi dalam kritik.
Jika saja ada keberanian di antara intelektual pesantren untuk memahami terma-terma filsafat,mungkin saja 'ruh absolut' pemikiran sebagai jalan epistemologi-metodologis akan sama dengan pemahaman nalar ijtihad. Persis seperti upaya Imam Syafi'i yang merumuskan jalur epistemologis Syariat melalui pembentukan nalar usul fiqh. Walaupun ahirnya terjadi pembakuan terhadap epistemologi Syafi'i yang, misalnya, tercermin dalam narasi Al-Kutub Al-Mu'tabar dalam komunitas pesantren nahdhiyin.
Memang, dalam banyak hal terdapat kesulitan-kesulitan epistemologis untuk memahami bahasa syariat dalam nalar pesantren sehingga bisa yang meneropong keinginan pemberi syariat (Allah swt). Artinya,perlu penguasaan yang maksimal terhadap beragam keilmuan pesantren semisal nahwu,sharaf, dan lain lain ditambah penguasaan terhadap katalog kitab-kitab - baik yang mu'tabar maupun yang tidak. Satu kendala dalam keilmuan pesantren adalah keyakinan yang berlebihan kepada ulama masa lalu yang telah mewariskan khazanah kitab sebagai sosok yang nyaris tanpa kritik,untuk tidak mengatakan maksum. Dalam konteks ini, komunitas pesantren selalu mencari silsilah pengetahuan yang seluruhnya bermuara pada penghulu ulama.
Berbeda dengan halnya filsafat yang selalu berpijak pada malas kritik. Artinya, dalam tradisi filsafat semua hal adalah relatif sehingga memungkinkan untuk dapat diperbaharui secara berkeseimbangan. Konsekwensinya,kita mendapati dalam mata rantai pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang saling memperbaharuH- kalau di ibaratkan,tumpukan pengetahuan pesantren ibarat rumah yang terus memperbesar dirinya dan hidup dalam jeratan madzhab, sementara nalar filsafat ibarat rumah yang terus membangun rumah lain secara terpisah namun sejajar.
Perlu di tegaskan bahwah nalar pesantren dalam muara besarnya diarahkan oleh pemahaman nalar usul fiqh Syafi'H- sebagaimana diketahui watak pemikiran usul fiqh merupakan disiplin ilmu yang sangat rumit, dan disiplin ilmu usu fiqh lah yang menjadi pangkal dari apa yang dinamakan fiqh. As-Syafi'i, dalam konteks ini,merupakan figur yang tidak bisa diabaikan dalam disiplin usul fiqh, terutama melalui kitab monumentalnya Ar-Risalah.
Sebagai medium pengambilan hukum,usul fiqh sangat erat kaitanya dengan fiqh. Dalam tradisi pengambilan hukum, setidaknya dikenal empat sumber hukum,yaitu Al-Quran,sunnah,ijma' , dan qiyas. Perjenjangan semacam ini nyaris menafikan peran akal dalam merumuskan hukum. Sehingga peran akal (rasio) dalam menginterpretasi kan tersubordinasi di bawah wahyu. Sampai disini bermula munculnya polemik klasik antar ahlu al-hadits yang diwakili oleh Malik bin Anas (93-179) dari kuat madinah dan ahlu al-ra'yi yang diwakili oleh Abu Hanifah (80-150) dari kuat Iraq dalam fiqh. Dan selanjutnya polemik antar Mu'tazilah dan ahl sunnah wal jamaah dalam ilmu kalam.
Kemunculan Asy-Syafi'i dengan Ar-Risalah-nya mendominasi dalam pengambilan hukum dalam islam. Sistem metodologinya itulah yang mebuat pengambilan hukum terus berpengaruh dalam pembentukan pola persepsi pemikiran islam yang mengutamakan teks wahyu dari pada rasio. Ijtihad boleh dilakukan untuk menafsirkan teks-teks suci melalui sistem perjenjang melalui qiyas,ijma' dan terus bermuara pada dua teks otoritatif sunnah dan Al Quran. Di antara hal-hal yang lebih di tekankan dalam kitab Ar-Risalah adalah sebagai berikut:
Pertama,setelah menemukan berbagai argumentasi untuk menyakinkan para pembaca bahwa Al-Quran di turunkan dalam bahasa arab. Ia menegaskan bahwa setiap muslim harus belajar bahasa arab,minimal agar bisa membaca Al Quran, bertasbih, takbir, tahmid, dan amalan sehari-hari.
Kedua, pembahasan tentang masalah validitas sunnah Rasulullah saw sebagai sumber hukum islam. Ini didasarkan pada kenyataan masanya,yaitu kelemahan umat islam dalam mempertahankan sunnah Rasul,terutama menyangkut hadits ahad-yang menurut Asy-Syafi'i -eksistensinya terancam sebagai sumber ajaran islam akibat pandangan aliran tertentu yang mengatakan bahwa hanya hadits mutawatirlah di samping Al Quran yang pantas di jadikan sumber hukum.
Hadits mursal meski tidak sambung riwayatnya karena tidak menyebutkan sahabat yang menerima hadis,oleh Syafi'i di terima sebagai sumber hukum dengan beberapa persyaratan yang ekstra ketat. Misalnya kandungan hadits itu disepakati oleh seluruh ulama fiqh dan diriwayatkan oleh para tokoh tabiin senior semisal Said ibn Musayyab.
Ketiga,masalah lain yang menjadi perhatian Asy-Syafi'i adalah masalah ijtihad. Melakukan ijtihad adalah wajib bagi mereka yang memenuhi syarat


Template: Santri Kampung (2017)

Designed by: Santri Kampung
Sponsor by: Annabawi FM©