MIMPI BUKAN DALIL AGAMA

| |



Mayoritas ulama sepakat bahwa mimpi tidak dapat di jadikan dasar dalam masalah syar'i. Seorang tidak dapat berdalil dengan mimpi untuk tujuan membolehkan atau melarang. Hal ini disebabkan karena,
Pertama,hukum syara' telah memberikan batasan bahwa dalil-daki hukum hanya terdapat di dalam Al-Quran,sunnah,ijma' dan qiyas.

Kedua,beragamnya mimpi. Mimpi itu sendiri,seperti sabda Nabi,terbagi menjadi tiga macam,yaitu mimpi dari Allah,mimpi untuk memberi rasa sedih yang berasal dari setan,dan mimpi yang berasal dari dialog seseorang dengan jiwanya ketika sedang terjaga,lalu melihatnya pada waktu tidur.
Persoalan muncul kemudian,adalah bagaimana kita memastikan dari mana datangnya keyakinan bahwa mimpi si fulan berasal dari Allah? Jangan-jangan mimpi si fulan tersebut cuma bisikan jiwa atau bahkan berasal dari setan? dalam hal ini,Qardawi berpendapat bahwa mimpi yang dialami selain Nabi tidak memiliki nilai kemaksuman.
Ketiga,orang yang tidur tidak berhak melakukan periwayatan. Tidak ada jaminan atas ketetapan mimpinya. Karena hal ini pula orang yang tidur tidak terkena hukum taklif (pembebanan hukum agama).
Belum lagi,kadang-kadang seseorang bermimpi dengan dua mimpi yang mirip,pada dua waktu dan dua keadaan yang berbeda. Kemudian setiap mimpi di tafsirkan dengan penafsiran yang panic berlawanan antar satu mimpi dengan yang lain.
Namun terkadang mimpi dara pula dianggap sah meski hanya untuk memenangkan hati. Itu terjadi jika mimpi sesuai dengan hujah syar'iyah yang sahih,sebagaimana yang dialami Ibnu Abas. Ia pernah berpendapat tentang bolehnya melakukan mut'ah al-hajj,karena menurutnya terdapat dalil yang bersifa sima'i dari al-Quran dan sunnah tentang hal tersebut. Secara kebetulan ia pun bermimpi tentang ini.
Ketika sebagian sahabat bermimpi sama dengan mimpi yang dinyatakan Ibnu Abbas,keesokannya mereka memberi kabar pada Ibnu Abbas tentang mimpi yang mereka alami sama persis dengan mimpi Ibnu Abbas. Menurut syara',mimpi seperti ini tidak akan membahayakan,karena dasar penetapan hukum dalam hal ini diambil dari dalil yang disyariatkan.
Ibnu Qayyim al-Jauzi mengatakan bahwa mimpi merupakan prinsip wahyu yang kebenaranya bisa disesuaikan dengan kejujuran orang yang bermimpi. Orang yang memimpikan paling benar adalah yang paling benar tutur katanya.
Ubadah bin Shamit pun menguatkan pendapat Ibnu Qayyim. Ia berpendapat bahwa mimpi orang yang beriman adalah jalan Tuhan kepada hambamya sewaktu tidur. Namun begitu,Imam Malik menegaskan bahwa mimpi merupakan bagian dari wahyu. Maka dia melayani keras tafsir mimpi manusia tanpa dasar ilmu.
Template: Santri Kampung (2017)

Designed by: Santri Kampung
Sponsor by: Annabawi FM©